Rabu, 12 Februari 2014

Perspektif Unik dari Perdagangan Berkeadilan



Kenneth J. Arrow, peraih Nobel bidang ekonomi, pernah mengatakan bahwa informasi asimetris bisa terjadi jika salah satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan pihak lain. Dalam hal ini, pihak penjual diasumsikan memiliki posisi tawar yang lebih baik dibandingkan pembeli meskipun kemungkinan kondisi yang sebaliknya bisa terjadi. Fenomena dalam bidang ekonomi tersebut masih sering dijumpai dalam praktek perdagangan dimana produsen dapat mengekploitasi konsumen melalui praktek informasi asimetris untuk tujuan komersil belaka. Karena itu, pemerintah turut intervensi untuk melindungi konsumen dari praktik unfair tersebut  melalui pemberlakuan UU perlindungan konsumen.
Namun di era Konsumerisme, logika kapitalisme sudah bergeser dari produksi sebanyak-banyaknya ke arah konsumsi sebanyak-banyaknya. Pola konsumsi produk digerakan oleh pembentukan persepsi melalui tayangan iklan secara kontinu. Produk dikonsumsi bukan karena kebutuhan melainkan bersumber dari eksploitasi selera dan status sosial. Dalam dunia perdagangan semacam itu telah melahirkan beragam dampak sosial mulai marginalisasi produsen kecil, ketidaksetaraan gender, eksploitasi pekerja bahkan sampai perusakan lingkungan. Untuk menjawab tantangan atas kondisi tersebut muncullah gagasan perdagangan berkeadilan atau yang dikenal dengan istilah fair trade.
Konsep perdagangan berkeadilan merupakan suatu komitmen jangka panjang dalam menjalankan praktek perdagangan yang mengutamakan nilai kesetaraan, keadilan dan solidaritas antara pihak produsen, pekerja, konsumen dan lingkungan. Gerakan ini lebih banyak dimotori oleh NGO yang merasa prihatin terhadap dampak pembangunan liberal yang menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan antara utara dan selatan. Diantara NGO skala internasional yang terus menerus mempromosikan gagasan perdagangan berkeadilan ini antara lain; Oxfam GB (Inggris), Fair Trade (Amerika Serikat), Transfair (Jerman), FLO (Fair Trade Labelling Organization) di Belanda, IFAT, NEWS!, EFTA, dan FINE. Dalam perjalanannya, gerakan ini telah menorehkan prestasi ekonomi yang cukup bagus diantaranya; tercatat ada 632 organisasi yang telah tersertifikasi fair trade di 58 negara; ada sekitar 1.900 jaringan bisnis yang mempraktekan konsep fair trade dan terus berkembang hingga saat ini; berdasar data FLO tahun 2012 transaksi perdagangan berkeadilan ini telah membukukan volume senilai USD 400 juta/ tahun. Meskipun angka tersebut belum memasukan Indonesia karena masih dianggap baru dalam mempraktekan perdagangan yang berbasis fair trade.
Di Indonesia, gerakan ini diperkenalkan oleh Oxfam GB pada tahun 1996. Puncaknya pada tahun 1997 Oxfam GB mendorong pembentukan Komunitas Masyarakat Fair Trade (KMFT) yang diperkuat dengan pendirian toko Sahani di Yogyakarta sebagai ujung tombak pemasaran produk beras organik dan kerajinan. Selain itu, ada beberapa nama organisasi nirlaba yang berhasil membangun perdagangan berkeadilan seperti; Samadi Justice and Peace Institute di Solo yang memperkenalkan produk batik dan garmen yang berbasis fair trade; APIKRI (Asosiasi Produsen Kerajinan Republik Indonesia) di Yogyakarta mampu menembus pasar eksport untuk produk kerajinan; Mitra Bali di Ubud-Gianyar, Bali, mampu mensejahterakan produsen dan pekerjanya melalui perdagangan berkeadilan serta sukses melestarikan lingkungan melalui gerakan penanaman kembali kayu Belalu sebagai bahan baku utama kerajinan dari para anggotanya yang bertujuan memutus mata rantai monopoli bahan baku kayu.
Melalui perdagangan berkeadilan ini akan mewujudkan konsumen etis yaitu konsumen yang peduli terhadap lingkungannya dan memahami dampak dari prilaku konsumsinya. Keberhasilan praktek perdagangan ini tidak lepas dari kedisiplinan organisasi dalam mengimplementasikan prinsip dasar fair trade dalam praktek bisnis sehari-hari. Prinsip dasar fair trade yang harus dijalankan oleh setiap organisasi yang hendak mempromosikannya antara lain;
1.    Selalu menciptakan peluang bagi produsen kecil melalui peningkatan kapasitasnya.
2.    Menjalankan asas transparansi melalui dialog dan akuntabilitas bisnis sehingga dapat dipertanggungjawabkan ke depan publik, konsumen khususnya.
3.    Melakukan transaksi pembayaran yang fair dan layak
4.    Tidak mempekerjakan anak maupun remaja serta tidak menciptakan kondisi kerja paksa. Menjamin kondisi kerja yang aman dan sehat. Pemberian upah pekerja sesuai dengan konsep living wages, bukan semata UMR.
5.    Memperkuat kesetaraan gender dengan tidak melakukan diskriminasi antara pekerja pria dan perempuan. Menghormati kebebasan berserikat sebagai bagian dari HAM
6.    Menghormati keberlanjutan lingkungan hidup. Proses poduksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Membangun relasi kemitraan dalam jangka panjang
7.    Penyediaan fasilitas kredit modal kerja tanpa bunga bagi para anggotanya. Pola bagi hasil antara produsen dan pengelola perdagangan lebih tepat karena ada kesetaraan diantara mereka.
Dengan prinsip dasar tersebut, konsumen lebih jeli dalam memilih produk yang diberi label fair trade mengingat masih ada peredaran produk berlabel fair trade tetapi tidak tersertifikasi dan hanya berorientasi untuk meningkatkan prestise dan keuntungan semata. Selain itu, melalui perdagangan berkeadilan ini diharapkan proses pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dapat terukur dan terstruktur dalam pencapaian  keseimbangan antara produktivitas dan inovasi dengan tujuan-tujuan sosial.