Kenneth J. Arrow, peraih
Nobel bidang ekonomi, pernah mengatakan bahwa informasi asimetris bisa terjadi
jika salah satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dan lebih baik
dibandingkan pihak lain. Dalam hal ini, pihak penjual diasumsikan memiliki
posisi tawar yang lebih baik dibandingkan pembeli meskipun kemungkinan kondisi
yang sebaliknya bisa terjadi. Fenomena dalam bidang ekonomi tersebut masih
sering dijumpai dalam praktek perdagangan dimana produsen dapat mengekploitasi
konsumen melalui praktek informasi asimetris untuk tujuan komersil belaka.
Karena itu, pemerintah turut intervensi untuk melindungi konsumen dari praktik
unfair tersebut melalui pemberlakuan UU
perlindungan konsumen.
Namun di era Konsumerisme,
logika kapitalisme sudah bergeser dari produksi sebanyak-banyaknya ke arah
konsumsi sebanyak-banyaknya. Pola konsumsi produk digerakan oleh pembentukan
persepsi melalui tayangan iklan secara kontinu. Produk dikonsumsi bukan karena
kebutuhan melainkan bersumber dari eksploitasi selera dan status sosial. Dalam
dunia perdagangan semacam itu telah melahirkan beragam dampak sosial mulai
marginalisasi produsen kecil, ketidaksetaraan gender, eksploitasi pekerja
bahkan sampai perusakan lingkungan. Untuk menjawab tantangan atas kondisi
tersebut muncullah gagasan perdagangan berkeadilan atau yang dikenal dengan
istilah fair trade.
Konsep perdagangan
berkeadilan merupakan suatu komitmen jangka panjang dalam menjalankan praktek
perdagangan yang mengutamakan nilai kesetaraan, keadilan dan solidaritas antara
pihak produsen, pekerja, konsumen dan lingkungan. Gerakan ini lebih banyak
dimotori oleh NGO yang merasa prihatin terhadap dampak pembangunan liberal yang
menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan antara utara dan selatan. Diantara NGO
skala internasional yang terus menerus mempromosikan gagasan perdagangan
berkeadilan ini antara lain; Oxfam GB (Inggris), Fair Trade (Amerika Serikat),
Transfair (Jerman), FLO (Fair Trade Labelling Organization) di Belanda, IFAT,
NEWS!, EFTA, dan FINE. Dalam perjalanannya, gerakan ini telah menorehkan
prestasi ekonomi yang cukup bagus diantaranya; tercatat ada 632 organisasi yang
telah tersertifikasi fair trade di 58 negara; ada sekitar 1.900 jaringan bisnis
yang mempraktekan konsep fair trade dan terus berkembang hingga saat ini;
berdasar data FLO tahun 2012 transaksi perdagangan berkeadilan ini telah
membukukan volume senilai USD 400 juta/ tahun. Meskipun angka tersebut belum
memasukan Indonesia karena masih dianggap baru dalam mempraktekan perdagangan yang
berbasis fair trade.
Di Indonesia, gerakan ini
diperkenalkan oleh Oxfam GB pada tahun 1996. Puncaknya pada tahun 1997 Oxfam GB
mendorong pembentukan Komunitas Masyarakat Fair Trade (KMFT) yang diperkuat
dengan pendirian toko Sahani di Yogyakarta sebagai ujung tombak pemasaran
produk beras organik dan kerajinan. Selain itu, ada beberapa nama organisasi
nirlaba yang berhasil membangun perdagangan berkeadilan seperti; Samadi Justice
and Peace Institute di Solo yang memperkenalkan produk batik dan garmen yang
berbasis fair trade; APIKRI (Asosiasi Produsen Kerajinan Republik Indonesia) di
Yogyakarta mampu menembus pasar eksport untuk produk kerajinan; Mitra Bali di
Ubud-Gianyar, Bali, mampu mensejahterakan produsen dan pekerjanya melalui
perdagangan berkeadilan serta sukses melestarikan lingkungan melalui gerakan
penanaman kembali kayu Belalu sebagai bahan baku utama kerajinan dari para
anggotanya yang bertujuan memutus mata rantai monopoli bahan baku kayu.
Melalui perdagangan
berkeadilan ini akan mewujudkan konsumen etis yaitu konsumen yang peduli
terhadap lingkungannya dan memahami dampak dari prilaku konsumsinya.
Keberhasilan praktek perdagangan ini tidak lepas dari kedisiplinan organisasi
dalam mengimplementasikan prinsip dasar fair trade dalam praktek bisnis
sehari-hari. Prinsip dasar fair trade yang harus dijalankan oleh setiap
organisasi yang hendak mempromosikannya antara lain;
1.
Selalu menciptakan peluang bagi produsen
kecil melalui peningkatan kapasitasnya.
2.
Menjalankan asas transparansi melalui dialog
dan akuntabilitas bisnis sehingga dapat dipertanggungjawabkan ke depan publik,
konsumen khususnya.
3.
Melakukan transaksi pembayaran yang fair dan
layak
4.
Tidak mempekerjakan anak maupun remaja serta
tidak menciptakan kondisi kerja paksa. Menjamin kondisi kerja yang aman dan
sehat. Pemberian upah pekerja sesuai dengan konsep living wages, bukan semata
UMR.
5.
Memperkuat kesetaraan gender dengan tidak
melakukan diskriminasi antara pekerja pria dan perempuan. Menghormati kebebasan
berserikat sebagai bagian dari HAM
6.
Menghormati keberlanjutan lingkungan hidup.
Proses poduksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Membangun relasi
kemitraan dalam jangka panjang
7.
Penyediaan fasilitas kredit modal kerja tanpa
bunga bagi para anggotanya. Pola bagi hasil antara produsen dan pengelola
perdagangan lebih tepat karena ada kesetaraan diantara mereka.
Dengan prinsip dasar
tersebut, konsumen lebih jeli dalam memilih produk yang diberi label fair trade
mengingat masih ada peredaran produk berlabel fair trade tetapi tidak
tersertifikasi dan hanya berorientasi untuk meningkatkan prestise dan
keuntungan semata. Selain itu, melalui perdagangan berkeadilan ini diharapkan
proses pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dapat terukur dan
terstruktur dalam pencapaian
keseimbangan antara produktivitas dan inovasi dengan tujuan-tujuan
sosial.