Fenomena workerpreneur di kota-kota
metropolitan saat ini memang menarik untuk diperbincangkan. Meski hari buruh
internasional sudah lewat namun soal pekerja dan bekerja di perusahaan memang
menarik untuk dikupas dalam konteks sosial ekonomi kekinian. Para pekerja pada
umumnya dalam menghidupi diri secara finansial sangat bergantung dari sumber
gaji yang diterima setiap bulannya. Besaran gaji selain terkait dengan masa
kerja juga erat hubungannya dengan job desk yang diterima dari manajemen. Para worker
yang menduduki posisi low dan middle manajemen memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mendapatkan porsi gaji yang lebih baik dibandingkan kelas pekerja
di lini staf atau sekelas buruh pabrik pada umumnya.
Kini, para pekerja yang berada di
lini manajemen mulai banyak yang terjun ke dunia enterpreneurship dengan alasan
ingin mendapatkan income dan sebagai bentuk aktualisasi diri. Fenomena ini di
sebut sebagai fenomena workerpreneur. Fenomena ini terjadi seiring dengan
berkembang pesatnya budaya populer yang tengah melanda generasi Y yaitu
generasi yang terlahir di era 80-an yang saat ini lebih familiar dengan
perangkat teknologi digital dalam genggaman. Derasnya arus informasi yang
mengalir seolah tak terbendung turut mempengaruhi pembentukan mindset para
worker berkerah ini untuk berusaha memanfaatkan asset intangiblenya yang
mungkin belum terakomodasi di perusahaan tempatnya bekerja dan mengubahnya
menjadi suatu power wiraswasta kreatif dengan suatu output yang berbentuk
produk atau jasa yang hendak ditawarkan kepada khalayak ramai. Memilih bisnis
bagi para workerpreneur juga bukan perkara mudah. Contoh pilihan wirausaha yang
menjadi opsinya adalah waralaba. Bentuk bisnis duplikatif ini sering menjadi
primadona para workerpreneur mengingat kebutuhan modal yang relatif terjangkau
serta resiko usaha yang minim. Minimal usaha yang akan digelutinya tidak
memakan waktu, energi, serta pikiran yang berlebihan karena hal itu telah
banyak dan lebih dulu dialokasikan di asal tempatnya bekerja.
Pilihan lainnya bagi seorang
workerpreneur yaitu mendirikan perusahaan secara kolektif. Perusahaan ini bisa
didirikan oleh 2 atau 3 orang dari perusahaan yang berbeda yang memiliki
background job desk yang sama di tempatnya bekerja. Misalnya, sama-sama
berlevel manager pemasaran. Biasanya pilihan core bisnisnya berbeda dengan
bisnis ditempatnya bekerja. Dalam fenomena workerpreneur bentuk pilihan-pilihan
ini dianggap lebih menantang guna memahami seluk beluk bisnis baru dengan
konsep yang kreatif tentunya. Biasanya, hal tersebut bisa memberikan kontribusi
positif bagi perusahaan tempatnya bekerja dalam hal solusi-solusi baru yang
bisa diberikannya. Mendirikan perusahaan baru seperti itu membutuhkan alokasi
waktu dan pikiran yang cukup sebab dimanapun suatu usaha baru dimulai
membutuhkan perhatian dan konsentrasi penuh. Tantangan membagi waktu antara di
perusahaan asal dengan perusahaan yang baru didirikan harus lebih bijaksana
agar tidak ada yang dirugikan dan justru kalau bisa saling menguntungkan.
Dalam dunia marketing, seperti yang
pernah dikemukakan oleh pakarnya yaitu Robert T Kiyosaki ada 4 kuadran yang salah
satunya bisa dilalui oleh seseorang dalam menuju kebebasan finansial yaitu
menjadi pengusaha atau investor. Namun dalam fenomena workerpreneur ini yang
terjadi adalah kombinasi antara menjadi pekerja sekaligus sebagai pengusaha. Dan
dalam transformasinya nanti seorang workerpreneur bisa mengubah wujudnya
menjadi workervestor yaitu pekerja yang menjadi entrepreneur sekaligus menjadi
seorang investor. Jika itu yang menjadi pilihan tentunya harus pandai dan
pintar-pintar mengatur waktu.