Senin, 19 Mei 2014

Fenomena Workerpreneur



Fenomena workerpreneur di kota-kota metropolitan saat ini memang menarik untuk diperbincangkan. Meski hari buruh internasional sudah lewat namun soal pekerja dan bekerja di perusahaan memang menarik untuk dikupas dalam konteks sosial ekonomi kekinian. Para pekerja pada umumnya dalam menghidupi diri secara finansial sangat bergantung dari sumber gaji yang diterima setiap bulannya. Besaran gaji selain terkait dengan masa kerja juga erat hubungannya dengan job desk yang diterima dari manajemen. Para worker yang menduduki posisi low dan middle manajemen memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan porsi gaji yang lebih baik dibandingkan kelas pekerja di lini staf atau sekelas buruh pabrik pada umumnya.
Kini, para pekerja yang berada di lini manajemen mulai banyak yang terjun ke dunia enterpreneurship dengan alasan ingin mendapatkan income dan sebagai bentuk aktualisasi diri. Fenomena ini di sebut sebagai fenomena workerpreneur. Fenomena ini terjadi seiring dengan berkembang pesatnya budaya populer yang tengah melanda generasi Y yaitu generasi yang terlahir di era 80-an yang saat ini lebih familiar dengan perangkat teknologi digital dalam genggaman. Derasnya arus informasi yang mengalir seolah tak terbendung turut mempengaruhi pembentukan mindset para worker berkerah ini untuk berusaha memanfaatkan asset intangiblenya yang mungkin belum terakomodasi di perusahaan tempatnya bekerja dan mengubahnya menjadi suatu power wiraswasta kreatif dengan suatu output yang berbentuk produk atau jasa yang hendak ditawarkan kepada khalayak ramai. Memilih bisnis bagi para workerpreneur juga bukan perkara mudah. Contoh pilihan wirausaha yang menjadi opsinya adalah waralaba. Bentuk bisnis duplikatif ini sering menjadi primadona para workerpreneur mengingat kebutuhan modal yang relatif terjangkau serta resiko usaha yang minim. Minimal usaha yang akan digelutinya tidak memakan waktu, energi, serta pikiran yang berlebihan karena hal itu telah banyak dan lebih dulu dialokasikan di asal tempatnya bekerja.
Pilihan lainnya bagi seorang workerpreneur yaitu mendirikan perusahaan secara kolektif. Perusahaan ini bisa didirikan oleh 2 atau 3 orang dari perusahaan yang berbeda yang memiliki background job desk yang sama di tempatnya bekerja. Misalnya, sama-sama berlevel manager pemasaran. Biasanya pilihan core bisnisnya berbeda dengan bisnis ditempatnya bekerja. Dalam fenomena workerpreneur bentuk pilihan-pilihan ini dianggap lebih menantang guna memahami seluk beluk bisnis baru dengan konsep yang kreatif tentunya. Biasanya, hal tersebut bisa memberikan kontribusi positif bagi perusahaan tempatnya bekerja dalam hal solusi-solusi baru yang bisa diberikannya. Mendirikan perusahaan baru seperti itu membutuhkan alokasi waktu dan pikiran yang cukup sebab dimanapun suatu usaha baru dimulai membutuhkan perhatian dan konsentrasi penuh. Tantangan membagi waktu antara di perusahaan asal dengan perusahaan yang baru didirikan harus lebih bijaksana agar tidak ada yang dirugikan dan justru kalau bisa saling menguntungkan.
Dalam dunia marketing, seperti yang pernah dikemukakan oleh pakarnya yaitu Robert T Kiyosaki ada 4 kuadran yang salah satunya bisa dilalui oleh seseorang dalam menuju kebebasan finansial yaitu menjadi pengusaha atau investor. Namun dalam fenomena workerpreneur ini yang terjadi adalah kombinasi antara menjadi pekerja sekaligus sebagai pengusaha. Dan dalam transformasinya nanti seorang workerpreneur bisa mengubah wujudnya menjadi workervestor yaitu pekerja yang menjadi entrepreneur sekaligus menjadi seorang investor. Jika itu yang menjadi pilihan tentunya harus pandai dan pintar-pintar mengatur waktu.